BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pendidikan
pada hakikatnya adalah upaya untuk menjadikan manusia berbudaya. Budaya dalam
pengertian yang sangat luas mencakup segala aspek kehidupan manusia, yang
dimulai dari cara berpikir,bertingkah laku sampai produk-produk berpikir
manusia yang berwujud dalam bentuk benda (materil)maupun dalam bentuk sistem
nilai (in- materil).
Pemunculan kebudayaan baru tidak
sepenuhnya memberikan efek positif terhadap perkembangan suatu bangsa,
tetapi ada juga yang berdampak negative. Untuk menghindari hal-hal
negatif dari suatu kebudayaan baru, diperlukan berbagai upaya untuk mengadakan
saringan kebudayaan yang dianggap paling tepat untuk diterapkan . Oleh karena ,
pemahaman terhadap kebudayaan menjadi penting bagi seorang pendidik agar
pendidik memahami secara persis kebudayaan dan pengaruhnya terhadap
perkembangan masyarakat.
Pada dasarnya
manusia dalam kehidupannya tidak bisa hidup dengan seenaknya sendiri atau sesuka sendiri, karena dalam kehidupan masyarakat
terdapat aturan-aturan dimana aturan-aturan tersebut sesuai dengan norma-norma,
nilai-nilai yang sesuai dengan kaidah yang berlaku di masyarakat, sehingga
manusia atau individu memiliki moral yang baik, dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma, nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat.
Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara manusia, moralitas
dan hukum dalam bersosialisasi kehidupan di masyarakat mempunyai alasan pokok, yaitu salah satunya untuk kepentingan dirinya sendiri
sebagai individu. Apabila individu tidak dapat menyesuaikan diri dan tingkah lakunya tidak sesuai dengan norma, nilai
dan kaidah sosial yang terdapat dalam masyarakat maka dimanapun ia hidup
tidak dapat diterima oleh masyarakat. Kita
berharap bahwa individu-individu yang hidup mempunyai moral baik kemungkinan
memiliki karakter moral individu yang baik juga dimana dapat mempengaruhi
karakter moral masyarakat secara keseluruhan
Manusia, nilai moral dan hukum merupakan sesuatu yang tidak
dapat dipisahkan. Dewasa ini masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa
Indonesia berkaitan dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai
kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan negatif lainnya sehingga perlu
dikedepankan pendidikan agama dan moral karena dengan adanya panutan, nilai,
bimbingan, dan moral dalam diri manusia akan sangat menentukan kepribadian
individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial dan kehidupan setiap insan.
Pendidikan nilai yang mengarah kepada pembentukan moral yang sesuai dengan
norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia yang
utuh dalam konteks sosial.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan
akademis, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Secara umum
ada tiga lingkungan yang sangat kondusif untuk melaksanakan pendidikan moral
yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat.
Peran keluarga dalam pendidikan mendukung terjadinya proses identifikasi,
internalisasi, panutan dan reproduksi langsung dari nilai-nilai moral yang hendak
ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Hal-hal yang juga
perlu diperhatikan dalam pendidikan moral di lingkungan keluarga adalah
penanaman nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam segenap
aspek.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah, maka masalah "Manusia, nilai, Moral dan
Hukum" dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan manusia
nilai moral dan hukum ?
2. Bagaimanakah hubungan antar etika
dan moral ?
3. Bagaimanakah Hubungan Manusia dengan Moral?
4. Bagaimanakah Hubungan Manusia dengan Hukum?
5. Bagaimanakah hubungan antar moral
dan hukum ?
1.3 Tujuan
1.
Dapat mengetahui pengertian dari manusia nilai
moral dan hukum !
2.
Dapat mengetahui hubungan antara etika dan moral !
3.
Mengetahui Hubungan Manusia dengan Moral!
4.
Dapat mengetahui Hubungan Manusia dengan Hukum!
5.
Dapat mengetahui hubungan antara moral dan hukum !
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Manusia,
Nilai, Moral Dan Hukum
Secara
bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang
berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai
makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah
fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang
individu. Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme
hidup (living organism).
Terbentuknya
pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat
dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal
(genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan.
Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi,
dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan
kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap
manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination)
dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat
untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan
Manusia
adalah makhluk yang tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Pada masa bayi sepenuhnya manusia tergantung kepada individu
lain. Ia belajar berjalan,belajar makan,belajar berpakaian,belajar
membaca,belajar membuat sesuatu dan sebagainya,memerlukan bantuan orang lain
yang lebih dewasa.
Malinowski(1949),
salah satu tokoh ilmu Antropologi dari Polandia menyatakan bahwa ketergantungan
individu terhadap individu lain dalam kelompoknya dapat terlihat dari
usaha-usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosialnya
yang dilakukan melalui perantaraan kebudayaan.
Nilai
adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi
manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi
kehidupan manusia.
Sifat-sifat
nilai adalah Sebagai berikut.
1.
Nilai itu suatu relitas abstrak dan ada dalam
kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang
dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu. Misalnya orang yang memiliki
kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi kita tidak bisa mengindra kejujuran
itu.
2.
Nilai memiliki sifat normative, artinya nilai
mengandung harapan, cita-cita dan suatu keharusan sehingga nilai memiliki sifat
ideal das sollen. Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia
dalam bertindak. Misalnya nilai keadilan. Semua orang berharap manusia dan
mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan.
3.
Niliai berfungsi sebagai daya dorong dan manusia
adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang
diyakininya. Misalnya nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua orang
terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.
Menurut
Cheng(1995): Nilai merupakan sesuatu yang potensial,dalam arti terdapatnya
hubungan yang harmonis dan kreatif ,sehingga berfungsi untuk menyempurnakan
manusia ,sedangkan kualitas merupakan atribut atau sifat yang seharusnya
dimiliki(dalam Lasyo,1999,hlm.1).
Manusia sebagai makhluk yang
bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks,pertama akan memandang nilai
sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada meskipun
tanpa ada yang menilainya,bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya
manusia sebagai penilai. Baik dan buruk,benar dan salah bukan hadir karena
hasil persepsi dan penafsiran manusia,tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan
menuntun manusia dalam kehidupannya.Pandangan kedua memandang nilai itu
subjektif,artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.Jadi
nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai.Oleh
karena itu nilai melekat dengan subjek penilai.
Moral berasal dari kata bahasa Latin
mores yang berarti adat kebiasaan.Kata mores ini mempunyai sinonim
mos,moris,manner mores atau manners,morals.
Dalam
bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak (bahasa Arab) atau kesusilaan yang
mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi
pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.Kata moral ini dalam bahasa Yunani
sama dengan ethos yang menjadi etika. Secara etimologis ,etika adalah ajaran
tentang baik buruk, yang diterima masyarakat umum tentang
sikap,perbuatan,kewajiban,dan sebagainya.
Moral adalah perbuatan/tingkah
laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang
dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat
tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka
orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah
produk dari budaya dan Agama. Jadi moral adalah tata aturan norma-norma yang
bersifat abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk melakukan perbuatan
tertentu dan sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk menjadi manusia
yang baik.
Disamping
adat istiadat tadi ,ada kaidah yang mengatur kehidupan manusia yaitu hukum,
yang biasanya dibuat dengan sengaja danmempunyai sanksi yang jelas.Hukum dibuat
dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar terjadi keserasian
diantara wrga masyarakat dan system social yang dibangun oleh suatu
masyarakat.Pada masyarakat modern hukum dibuat oleh lembaga – lembaga yang
diberikan wewenang oleh rakyat.
Keseluruhan
kaidah dalam masyarakat pada intinya adalah mengatur masyarakat agar mengikuti
pola perilaku yang disepakati oleh system social dan budaya yang berlaku pada
masyarakat tersebut. Pola-pola perilaku merupakan cara-cara masyarakat
bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota
masyarakat tersebut.Setiap tindakan manusia dalam masyarakat selalu mengikuti
pola-pola perilaku masyarakat tadi.Pola perilaku berbeda dengan kebiasaan.
Kebiasaan merupakan cara bertindak seseorang yang kemudian diakui dan mungkin
diikuti oleh orang lain. Pola perilaku dan norma-norma yang dilakukan dan
dilaksanakan pada khususnya apabila seseorang berhubungan dengan orang lain,
dinamakan social organization.
Meskipun
banyak pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah
disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia,
dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh
setiap pakar pada dasarnya adalah upaya dalam memberikan pengertian secara
holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian
yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi
yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada
pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of
Social Interest, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya.
Nilai
dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai
landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik
disadari maupun tidak.
Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang dapat mendorong
manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik
manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai
lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin
diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Menilai dapat
diartikan menimbang yakni suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan.
Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik,
indah) atau sebaliknya bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur
yang ada pada diri manusia yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan.
Nilai
memiliki polaritas dan hirarki, antara lain:
1.
Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek
negatif yang sesuai polaritas seperti baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
2.
Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu:
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu:
3.
Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani
manusia.
4.
Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
5.
Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi
rohani manusia.
Nilai
kerohanian terbagi menjadi empat macam:
1.
Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau
rasio manusia
2.
Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada
unsur perasaan estetis manusia
3.
Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau
karsa manusia
4.
Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia
dengan disertai penghayatan melalui akal budi dan nuraninya
Hal-hal
yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material) saja,
bahkan sesuatu yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan
mutlak bagi manusia seperti nilai religius.
Nilai
juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu
pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak
konkret dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif
ini perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang
lebih konkret dan objektif dari nilai adalah norma/kaedah. Norma berasal dari
bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat
perkakas yang digunakan oleh tukang kayu.
Dari
sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau
kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang
lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau
keburukan suatu perbuatan.
Ada beberapa
macam norma/kaedah dalam masyarakat, yaitu:
1.
Norma kepercayaan atau keagamaan
2.
Norma kesusilaan
3.
Norma sopan santun/adab
4.
Norma hukum
Dari
norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat
dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).
Nilai
dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin
yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai
dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan
mana yang wajar. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi
manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang
dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manusia yang bermoral
adalah manusia yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
2.2 Etika dan Moral
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno.
Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta
etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang
rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir.
Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang
melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata),
etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami
kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata
tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari
sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan
yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam
Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari
Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari
Bertens 2000), mempunyai arti :
1.
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak;
3.
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Moralitas
berasal dari
kata Latin yang mempunyai arti kebiasaan (adat). Bentuk tunggal dari moral yaitu mos
sedangkan bentuk jamaknya mores, keduanya memiliki arti kata yang sama
seperti halnya moral. Dengan melihat arti kata tersebut bisa dikatakan makna
moral dan etika itu sama yakni mengenai adat ataupun kebiasaan, yang menjadi perbedaan yaitu
etika berasal dari kata Yunani sedangkan moral dari kata Latin. Oleh karena itu
moral merupakan nilai- nilai dan norma- norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Pengertian secara
umum, seperti diterangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah moral
adalah: (i) ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila; atau (ii) kondisi mental yang
membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati
atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; serta (iii) ajaran
kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Namun demikian, dalam
prakteknya, tak semua orang membuka kamus. Kebanyakan diantara kita memahami
‘moral’ melulu dalam pengertian (i) sebagai tata nilai yang baik dan luhur,
tanpa menyadari lagi bahwa pengertian itu berkaitan dengan (iii) sumber-sumber
ajaran kesusilaan yang representasikan melalui suatu narasi. Pengertian ‘moral’
bahkan sering terlupakan juga berarti sebagai (ii) kondisi mental atau perasaan
yang direpresentasikan sebagai ungkapan atau perbuatan.
Etika lebih condong kearah
ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu etika lebih sering dikenal sebagai
kode etik.
Moralitas adalah sifat moral
atau keseluruhan asas dan atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk.
Dua kaidah dasar moral adalah :
- Kaidah Sikap Baik. Pada dasarnya kita mesti bersikap baik terhadap apa saja. Bagaimana sikap baik itu harus dinyatakann dalam bentuk yang kongkret, tergantung dari apa yang baik dalam situasi kongkret itu.
Kaidah
Keadilan. Prinsip keadilan adalah kesamaan yang masih tetap mempertimbangkan
kebutuhan orang lain. Kesamaan beban yang terpakai harus dipikulkan harus sama,
yang tentu saja disesuaikan dengan kadar angoota masing-masing
2.3 Hubungan
Manusia dengan Moral
Moral
memiliki arti yang hampir sama dengan etika. Etika berasal daribahasa kuno yang
berarti ethos dalam bentuk tunggal ethos memiliki banyak artiyaitu tempat
tinggal biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, watak sikap , dan cara berfiki.
Dalam bentuj jamak ethos (ta etha) yang artinya adat kebiasaan. Moral berasal
dari bahsa latin yaitu mos (jamaknya mores) yang berarti adat, cara, dantampat
tinggal. Dengan demikian secara etismologi kedua kata tersebut bermakna sama hanya
asal uasul bahasanya yang berbeda dimana etika dari bahasa yunani sementara
moral dari bahasa latin.
Moral
yang pengertiaannya sama dengan etika dalam makna nilai-nilai dan orma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Dalam ilmu filsafat moral banyak unsur yang dikajisecara kritis, di
landasi rasionalitas manusia seperti sifat hakiki manusia, prinsip kebaikan,
pertimbangan etis dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dansebagainya.
Moral lebih kepada sifat aplikatif yaitu berupa nasehat tentang hal-halyang
baik.
Ada beberapa
unsur dari kaidah moral yaitu :
1.
Hati Nurani Merupakan fenomena moral yang sangat
hakiki.
Hati
nurani merupakanpenghayatan tentang baik atau buruk mengenai perilaku manusia
dan hati nurani ini selalu dihubungkan dengan kesadaran manusia dan selalu
terkait dalamdengan situasi kongkret. Dengan hati nurani manusia akan sanggup mererfleksi
kandirinya terutama dalam mengenai dirinya sendiri atau juga mengenal orang.
2.
Kebebasan dan tanggung jawab.
Kebebasan
adalah milik individu yang sangat hakiki dan manusiawi dankarena manusia pada
dasarnya adalah makhluk bebas. Tetapi didalam kebebasanitu juga terbatas karena
tidak boleh bersinggungan dengan kebebasan orang lain ketika mereka melakukan
interaksi. Jadi, manusia itu adalah makhluk bebas yang dibatasi oleh
lingkungannya sebagai akibat tidak mampunya ia untuk hidup sendiri.
Nilai dan moral akan muncul ketika berada pada orang lain dan ia
akanbergabung dengan nilai lain seperti agama, hukum, dan budaya. Nilai
moralterkait dalam tanggung jawab seseorang.
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma
yang mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika
tidak disertai moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa
disertai moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan
norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral
juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau
tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat.
Meskipun
hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda,
sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan moral
atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan
antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa
ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.
Kualitas
hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak
kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan
moral sangat jelas.
Gunawan
Setiardja membedakan hukum dan moral :
1.
Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis,
konsesus dan hukum alam sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2.
Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom
(datang dari luar diri manusia), sedangkan moral bersifat otonom (datang dari
diri sendiri).
3.
Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat
dipaksakan,
4.
Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral
berbentuk sanksi kodrati, batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5.
Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan
manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia
sebagai manusia.
6.
Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada
waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat
dan waktu (1990,119).
2.4 Hubungan
Manusia dengan Hukum
Hukum
dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin
menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia,
masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk
mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar
kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas
lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the
living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia
dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu
hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di
mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu
akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai
komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen
perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk
mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan
(organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial
(social order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan
tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata
pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan).
2.5 Hubungan
Moral dan Hukum
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat
sekali, ada pepatah Roma yang mengatakan “ Quid leges sine moribus? ” ( “ apa
artinya undang- undang kalau tidak disertai moralitas” ). Dengan demikian hukum
tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas.
Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur
dengan norma moral, perundang- undangan yang immoral harus diganti. Di sisi
lain, moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan- angan
saja, kalau tidak diundangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dengan
demikian hukum bisa meningkatkan dampak social dari moralitas. Meskipun tidak
semua harus diwujudkan dalam bentuk hukum, karena hal itu mustahil. Hukum hanya
membatasi diri dengan mengatur hubungan antarmanusia yang relevan.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun
hukum dan moral tetap berbeda, sebabdalam kenyataannya “ mungkin“ hukum yang
bertentangan dengan moral atau ada undang- undang yang immoral yang berarti
terdapat ketidak cocokan antara hukum dan moral.
K. Bertens
mengungkapkan bahwa ada empat perbedaan antara hukum dan moral, yaitu:
1. Hukum
lebih dikodifikasikan daripada moralitas
Artinya hukum lebih dibukukan secara sistematis
dalam kitab perundang- undangan. Oleh karena itu hukum lebih memiliki kepastian
dan objektif dibandingkan dengan norma moral. Sedangkan moral lebih bersifat
lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak “ diganggu “ oleh diskusi-
diskusiyang mencari kejelasan yang harus dianggap etis dan tidak etis.
2. Hukum
membatasi hanya pada tingkah laku lahiriyah
Meskipun hukum dan moral mengatur tingkah laku
manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriyah saja, sedangkan
moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi
untuk hukum lebih tegas
Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan
sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian bisa dipaksakan,
sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru
berasal dari dalam. Satu- satunya sanksi dibidang moraalitas adalah hati nurani
yang tidak tenang.
4. Hukum
didasarkan pada kehendak masyarakat dan akhirnya ataas kehendak Negara
Meskipun hukum tidak langsung dari Negara seperti
hukum adat, namun hukum itu harus diakui oleh Negara agar bisa berlaku sebagai
hukum. Moralitas didasarkan pada norma- norma moral yang melebihi para individu
dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat
mengubah hukum, tetapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan
suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak berarti banyak,
kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong.
Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hukum
selalu harus diukur dengan norma moral. Di sisi lain, moral juga membutuhkan
hukum. Moral akan mengawang-awang saja, kalau tidak diungkapkan dan
dilembagakan dalam masyarakat, seperti terjadi dengan hukum. `Walaupun ada hubungan
erat antara moral dan hukum, namun perlu dipertahankan juga bahwa moral dan
hukum tidak sama. Tidak mustahil adanya undang-undang immoral, undang-undang
yang harus ditolak dan ditentang atas pertimbangan etis. Dalam kasus seperti
itu terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral.
Menurut DR. Haryatmoko, dalam Kompas,
10 Juli 2001 mengatakan, ada lima pola hubungan moral-hukum yang bisa dibagi
dalam dua kerangka pemahaman. Kerangka pemahaman pertama, moral sebagai bentuk
yang mempengaruhi hukum. Moral tidak lain hanya bentuk yang memungkinkan hukum
mempunyai ciri universalitas. Sebagai bentuk, moral belum mempunyai isi.
Sebagai gagasan masih menantikan pewujudan. Pewujudan itu adalah rumusan hukum
positif.
Pola
hubungan moral-hukum itu yaitu:
Pertama,
moral dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan
sosial-politik, keadilan sosial. Upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai
ideal itu, tetapi sesempurna apa pun usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai
ideal itu. Bagi penganut paham hukum kodrat, ini merupakan pola hubungan hukum
kodrat dan hukum positif.
Kedua,
hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain hukum positif yang berlaku, sanggup
memberi bentuk moral dan eksistensi kolektif. Pewujudan cita-cita moral tidak
hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi (kecuali dalam
bentuk gagasan). Dalam pola kedua ini, pewujudan moral tidak hanya melalui
tindakan moral, tetapi dalam perjuangan di tengah-tengah pertarungan kekuatan
dan kekuasaan, tempat di mana dibangun realitas moral (partai politik,
birokrasi, hukum, institusi-institusi, pembagian sumber-sumber ekonomi).
Pola
ketiga adalah voluntarisme moral. Di satu pihak, hanya dalam kehidupan nyata
moral bisa memiliki makna; di lain pihak, moral dimengerti juga sebagai sesuatu
yang transenden yang tidak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik.
Satu-satunya cara untuk menjamin kesinambungan antara moral dan hukum atau
kehidupan konkret adalah menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak murni.
Implikasinya akan ditatapkan pada dua pilihan yang berbeda: Di satu pihak,
pilihan reformasi yang terus-menerus. Pilihan ini merupakan keprihatinan agar
moral bisa diterapkan dalam kehidupan nyata, tetapi sekaligus sangsi akan
keberhasilannya. Maka yang bisa dilakukan adalah melakukan reformasi
terus-menerus. Di lain pihak, pilihan berupa revolusi puritan. Dalam revolusi
puritan, misalnya Taliban di Afganistan, ada kehendak moral yang yakin bahwa
penerapan tuntutan moral itu bisa dilakukan dengan memaksakannya kepada semua
anggota masyarakat. Kecenderungannya ialah menggunakan metode otoriter. Kerangka
pemahaman kedua menempatkan moral sebagai sesuatu yang di luar politik dan
tidak dapat direduksi menjadi politik. Moral dilihat sebagai suatu bentuk
kekuatan yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan sejarah atau politik
kecuali dengan melihat perbedaannya. Dalam kelompok ini ada dua pola hubungan
antara moral dan hukum.
Dalam
pola keempat, moral tampak sebagai di luar politik. Dimensi moral menjadi
semacam penilaian yang diungkapkan dari luar, sebagai ungkapan dari suatu
kewibawaan tertentu. Tetapi, kewibawaan ini bukan merupakan kekuatan yang
efektif, karena tidak memiliki organ atau jalur langsung untuk menentukan
hukum. Pola hubungan ini mirip dengan posisi kenabian. Nabi dimengerti sebagai
orang yang mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang sedang berlangsung,
tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena ada di luar permainan politik. Tetapi,
nabi memiliki kewibawaan tertentu. Dalam perspektif ini, hubungan antara moral
dan hukum atau politik biasanya bersifat konfliktual. Dalam rezim ini ada
pemisahan antara masalah agama dan masalah politik.
Dalam
pola kelima, politik dikaitkan dengan campur tangan suatu kekuatan dalam
sejarah. Kekuatan ini adalah tindakan kolektif yang berhasil melandaskan diri
pada mesin institusional. Moral dianggap sebagai salah satu dimensi sejarah,
sebagai etika konkret bukan hanya bentuk dari tindakan. Dengan demikian moral
berbagi lahan dengan politik. Di satu pihak, moral hanya bisa dipahami melalui
praktik politik. Melalui politik itu moral menjadi efektif: melalui hukum,
lembaga-lembaga negara, upaya-upaya dalam masalah kesejahteraan umum. Tetapi,
moral tetap tidak bisa direduksi ke dalam politik. Di lain pihak, politik
mengakali moral. Sampai pada titik tertentu, politik (dalam arti ambil bagian
dalam permainan kekuatan) hanya mempermainkan moral karena politik hanya
menggunakan moral untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Manusia, nilai, moral dan hukum
adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling menunjang. Sebagai warga
negara kita perlu mempelajari, menghayati dan melaksanakan dengan ikhlas
mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan dan harmoni kehidupan.
Baik nilai, moral, hokum berhubungan dengan
manusia, hanya manusialah yang mempunyai sifat-sifat tersebut.
Moral adalah
Untuk mempertimbangkan dan mengembangkan keyakinan diri dan aturan
masyarakatnya dibutuhkan pemahaman dan perenungan yang mendalam tentang mana
yang sejatinya dikatakan baik, mana yang benar-benar buruk.
Hukum adalah
yang mengatur nilai moral. Tujuan pertama hukum adalah kebutuhan terhadap
ketertiban, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat
manusia dalam segala bentuknya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat
perlu adanya kepastian hukum.
Hukum dan moral sama-sama berkaitan
dengan tingkah laku manusia agar selalu baik, namun positivisme hukum yang
murni justru tidak memberikan kepastian hukum.
Hukum merupakan positivasi nilai
moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan,
tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral
adalah legitimasi karena adil bagi semua orang.
Pola hubungan moral-hukum itu yaitu:
Pertama, moral dimengerti sebagai yang menghubungkan
hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, keadilan sosial
Kedua, hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain
hukum positif yang berlaku, sanggup memberi bentuk moral dan eksistensi
kolektif
Pola ketiga adalah voluntarisme moral.
Dalam pola keempat, moral tampak sebagai di luar
politik.
Dalam pola kelima, politik dikaitkan dengan campur
tangan suatu kekuatan dalam sejarah.
3.2 Saran
Penegakan
hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan kepastian hukum.
Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan
(justice), kepastian hukum (certainty of law), dan kesebandingan hukum
(equality before the law).
Penegakan
hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan penegakan hak asasi
manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan hukum yang bersifat
diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender. Penegakan hukum
jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM. Karena, sesungguhnya keduanya dapat
berjalan seiring ketika para penegak hukum memahami betul hak-hak warga negara
dalam konteks hubungan antara negara hukum dengan masyarakat sipil.
Semoga
dengan penjelasan tentang manusia, moral dan hokum tadi kita sebagai manusia
paham tentang hakikat masing-masing, sehingga tercipta hubungan yang madani
diantara sesama manusia dalam lingkungan sosila maupun dengan sang Khalik.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.e-dukasi.net/karyaanda/viewkarya.php?kid=16
http://grms.multiply.com/journal/item/26
http://bambang1988.wordpress.com/2009/04/13/manusia-nilai-moral-dan-hukum/
Juanda, dkk. 2010. Bahan Ajar Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: UNJ.
Is poker gambling a scam or a scam? - Dr.MCD
BalasHapusWe can answer this question in one 광주광역 출장마사지 place. Let's face it, 논산 출장샵 there are no 창원 출장샵 good casino gambling 포항 출장안마 sites that offer casino gambling 동해 출장안마 in a way that is not.